SEJARAH TOPENG MALANG
Menyimak
kesejarahan kabupaten Malang yang memiliki latar belakang yang sangat
potensial, yaitu beberapa kerajaan besar yang melatarbelakangi keberadaannya
seperti: Kanjuruhan yang diperkirakan bersitus di sekitar Dinoyo, Kerajaan
Singosari yang bersitus di sekitar Singosari. Disamping itu peninggalan
purbakala yang terdiri dari candi Kidal, candi Jajaghu (Jago), candi Singosari
dan candi Badut, serta beberapa benda purbakala lainnya beserta situs-situsnya
masih dilestarikan sampai sekarang (Mustopo. 1984: 21 – 29). Kondisi ini
memperkuat keberadaan kesenian yang berakar dari masa-kemasa tersebut.Seperti
yang telah dipaparkan di atas, bahwa keberadaan Wayang Topeng Malang sebagai
warisan kesenian istana mulai dari jaman kerajaan Kediri (Wayang Wwang) sampai
mencapai puncak kejayaannya pada masa kebesaran kerajaan Majapahit. Pertunjukan
Dramatari Wayang Topeng di Malang, diperkirakan sudah ada sejak abad ke VIII,
berdasarkan kajian sejarah, baik yang bersifat artefak maupun yang non artefak.
Wajowasito (1976: 9) menerangkan bahwa pada abad VIII di Malang telah berdiri
kerajaan besar Hindu Budha.Raja yang termasyhur bernama Liswa keturunan Dewa
Simha.Setelah dinobatkan menjadi Raja bergelar Gajahyana.Kerajaan ini bernama
Kanjuruhan, diperkirakan terletak di sekitar Dinoyo (Tim Peneliti Sejarah Hari
Jadi Kabupaten Malang yang diketuai Habib Mustopo, 1984).Sedangkan yang dapat
dilacak peninggalannya berupa Candi di desa Karangbesuki, Kecamatan Dinoyo
Kabupaten Malang.Sang Raja pada masa mudanya sebagai penari dan candi
peninggalannya disebut candi Badut yang dalam bahasa Jawa kuno berarti penari
sedang dalam bahasa Jawa baru berarti pelawak (Henri 1995: 2).
Topeng atau kedok
atau tapel istilah lainnya dikenal oleh suku suku bangsa di Indonesia sedangkan
bentuk dan fungsinya bermacam macam. Topeng ini sudah di kenal semenjak jaman
prasejarah dan tidak terbatas pada suku-suku bangsa di Indonesia saja
(Sedyawati ,1993:1). Sumber data prasasti tentang kesenian topeng di jumpai
didalam beberapa inskripsi, diantaranya istilah hatapukan, matapukan. Hatapukan
atau matapukan mengacu pada pengertian topeng, terdapat pada inskripsi Wahana
Kuti tahun 762 Saka atau 840 M. Inskripsi Mantyasih tahun 862 Saka atau 904 M.
Sedang istilah manapel dalam inskripsi candi Barot berangka tahun 722 saka atau
850 M dan istilah Wayang Wwang (Wayang orang) dalam inskripsi Wimalasrama
berangkat tahun 930 M, kesemuanya menggunakan topeng sebagai perabot utamanya.
Wayang Topeng seperti itu disebut raket yang berkembang pada kerajaan Hindu
Budha di Jawa Timur (Henri, Soleh, 1995: 2).Selanjutnya Soenarto Timoer
(1990:58) berkesimpulan bahwa pada jaman Mataram kuno pertunjukan wayang belum
timbul.Tradisi wayang ada setelah kerajaan Medang di Mataram pindah ke Jawa
Timur. Dengan kalimat lain bahwa pertunjukan teater berlakon, Wayang Topeng lebih
tua dari pada wayang kulit dan perkembangan teater berlakon di Jawa Timur sudah
muncul diabad IX. Pertunjukan drama tari mencapai puncaknya pada jaman kerajaan
Majapahit. Pernyataan ini di kuatkan oleh bait-bait puisi pada buku Negara
Kretagama seperti di bawah ini ;
Pupuh
LXVI
Bait 4: Gemeruduk dan gemuruh
para penonton dari segenap arah, berdesakdesakan. Ribut terebut tempat melihat
peristiwa di balai agung serta para leluhur.Sri Nata menari dibalai khusus
untuk para putri dan para istri yang duduk rapat rapi berimpit, ada yang
melamun karena tercengang memandang.
Bait 5: Segala macam kesenian
yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan nyanyian, Wayang.Topeng silih
berganti setiap hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit yang dasyat
berpukul pukulan menimbulkan gelak mengakak terutama derma kepala orang yang
menderita membangkitkan gembira rakyat (Slamet Mulyana, 1979;307).
Pupuh
XCI
Bait 4: Arya Ramadikara lupa
bahwa baginda berelagu bersama Arya Mahadikara. Mahadikara mendadak berteriak bahwa
para pembesar ingin beliau menari Topeng.“Ya’’ Jawab beliau; segera masuk untuk
persiapan.
Bait 5: Sri Baginda Warnawan
telah memakai tampuk topeng. Delapan pengiringnya di belakang bagus bergas
pentas.Keturunan Arya bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya. Itulah sebabnya
banyolannya selalu tepat kena (Slamet Mulyana ,1979: 320).
Menurut
data tertulis serta penuturan dari nara sumber, bahwa antara akhir abad XIX
sampai XX di kenal seorang seniman tari dan pengukir topeng yang sekaligus
dalang topeng yang bernama Kik Reni (kakek Reni). Pada masa mudanya ia bernama
Tjondro. Ia termasuk pegawai rendah (abdi dalem) di lingkungan Kadipaten
Malang. Rumahnya di desa Polowijen sebelah selatan Singosari (sekarang
kelurahan Polowijen Kecamatan Blimbing kota Malang) (Pegaut, 1938).
Data
tersebut bila di kaitkan dengan data sejarah Kabupaten Malang, perihal
bupati-bupati Malang pada zaman pemerintahan Belanda, mengungkapkan sejarah
sebagai berikut; pemerintah Belanda di Jawa timur mengangkat penguasa daerah
dengan pangkat Bupati baru pada awal abad ke XIX (Wojowasito 1976;65 74) secara
kronologis urutan Bupati Malang sebagai berikut:
1. Raden Tumenggung Kertanegara
[….-1822]
2. Raden Bupati Panji Wilasmoto
[1828-1835]
3. Raden Tumenggung Notodiningrat
[1835-1839]
4. Raden Adipati Ario Noto Diningrat
[1839-1884]
5. Raden Tumenggung Ario Noto
Diningrat [1884-1889]
6. Suryo Adi Ningrat [1898-1934]
7.
Ario
Adipati Sam [1934-1942]
Nara
sumber mantan murid-murid Kek Reni mengatakan bahwa beliau (Kek Reni) bertugas
sebagai dalang wayang topeng di Kabupaten Malang pada jaman Bupati Kanjeng
Suryo (yang dimaksud adalah bupati ke 6 bernama Suryo Adiningrat yang menjabat
tahun 1898-1934). Pada waktu itu pertunjukan topeng dinyatakan sebagai
pertunjukan resmi di pendopo Kabupaten Malang (Supriyanto, 1994:7).
Secara
khusus Ong Hok Ham menceritakan tentang Reni yang berkaitan dengan tokoh wayang
topeng dari Desa Polowijen, seperti dalam kutipan di bawah ini:
In
the 1930's a well to do peasant calletl Reni liveed in this village, he was one
of the greatest topeng carvers of the Malang style and led one of the best
wayang topeng troupers of his time. In today’s woyang topeng world of Malang
the village of Polowidjen is best known as Reni's village. ln his day the
wayang topeng achieved one of its high points. This development was certainly
partly due to the patronage of the then bupati of Malang, R.A.A.
Soeria-adiningrat, who supplied Reni with his matriali (gold laef, , good
paint, wood) and helped set artistik standards (Onghokham. 1972).
Pada tahun 1930-an seorang petani
kaya yang bernama Reni tinggal di desa ini (Polowidjen). Dia adalah salah satu
pembuat topeng terbesar gaya Malang dan pemimpin rombongan wayang topeng
terbaik pada masanya. Di dunia wayang topeng Malang, kini desa Polowijen terkenal
sebagai desa Reni.Pada masanya, wayang topeng mencapai salah satu titik
puncak.Perkembangan ini tentu saja sebagian disebabkan oleh sumbangan dari
Bupati Malang pada waktu itu, R.A.A. Soerio Adiningrat, yang menyuplai Reni
dengan bahanbahannya (lempengan emas tipis, cat yang baik, kayu), dan membantu menetapkan
standar artistik.
Sejak
masa popularitas Reni, pertunjukan wayang topeng di daerah Malang telah
tersebar di banyak tempat, khususnya di desa-desa.
Nara
sumber mantan murid-murid Kek Reni mengatakan bahwa beliau (Kek Reni) bertugas
sebagai dalang wayang topeng di Kabupaten Malang pada jaman Bupati Kanjeng
Suryo (yang dimaksud adalah bupati ke 6 bernama Suryo Adiningrat yang menjabat
tahun 1898-1934). Pada waktu itu pertunjukan topeng dinyatakan sebagai
pertunjukan resmi di pendopo Kabupaten Malang (Supriyanto, 1994:7).
Secara
khusus Ong Hok Ham menceritakan tentang Reni yang berkaitan dengan tokoh wayang
topeng dari Desa Polowijen, seperti dalam kutipan di bawah ini:
In
the 1930's a well to do peasant calletl Reni liveed in this village, he was one
of the greatest topeng carvers of the Malang style and led one of the best
wayang topeng troupers of his time. In today’s woyang topeng world of Malang
the village of Polowidjen is best known as Reni's village. ln his day the
wayang topeng achieved one of its high points. This development was certainly
partly due to the patronage of the then bupati of Malang,
R.A.A.Soeria-adiningrat, who supplied Reni with his matriali (gold laef, ,
goodpaint, wood) and helped set artistik standards (Onghokham. 1972).
Pada tahun 1930-an seorang petani
kaya yang bernama Reni tinggal di desa ini (Polowidjen). Dia adalah salah satu
pembuat topeng terbesar gaya Malang dan pemimpin rombongan wayang topeng
terbaik pada masanya. Di dunia wayang topeng Malang, kini desa Polowijen terkenal
sebagai desa Reni.Pada masanya, wayang topeng mencapai salah satu titik
puncak.Perkembangan ini tentu saja sebagian disebabkan oleh sumbangan dari
Bupati Malang pada waktu itu, R.A.A. Soerio Adiningrat, yang menyuplai Reni
dengan bahanbahannya (lempengan emas tipis, cat yang baik, kayu), dan membantu menetapkan
standar artistik.
Sejak masa
popularitas Reni, pertunjukan wayang topeng di daerah Malang telah tersebar di
banyak tempat, khususnya di desa-desa.Adapu persebaran wayangtopeng tersebut
meliputi; Wajak, Dampit, Senggreng, Ngajum, dan di daerah lainnya (Timoer,
1989).Sekitar tahun 1970-1980-an masih ditemukan informasi tentang keberadaan
tokoh-tokoh wayang topeng yang tersebar di berbagai desa di Kabupaten Malang.Seperti
ditemukannya salah satu tokoh wayang topeng yang berusia 96 tahun (pada tahun
1985) yang bemana Wiji (panggilan akrabnya mbah Wiji) dari Desa Kopral
Sukowilangun. Wiji memiliki sejumlah pengalaman yang pada umumnya tidak berbeda
dengan tokoh-tokoh wayang topeng yang lain, seperti halnya Reni, Wiji pernah
dikenal sebagai dalang wayang topeng, pengukir topeng, dan penari. Menurut
pengakuannya, topeng-topengnya banyak dibeli oleh perkumpulan wayang topeng desa
Jenggolo, kecamatan Kepanjen.Wiji merupakan salah satu tokoh yang sejajar
dengan Reni dari Polowijen atau Yai Nata dari Slorok.Wiji baru diketahui ketokohannya
oleh seniman-seniman tari di Malang sekitar tahun 1985.Waktu itu Wiji sudah
berusia sekitar 96 tahun lebih (tahun 1985). Menurut pengakuannya, ketika masih
muda Wiji seringkali pentas di pendapa Kabupaten Malang, dengan pakaian dalang
kebanggaan yang dikenakan pada waktu pendokumentasian wayang Topeng Kopral,
yaitu mengenakan blangkon Solo, hem putih berdasi hitam, mengenakan jas warna
hitam dan berjarik (kain panjang).
Biyen
aku kerep ditimbali kenjeng bupati Raden Djapan, main topeng ana pendapa
kanjengan kana.Kira-kira tahun sewidakan.Lek aku ndalang, ya ngene iki
pakainane. Lakone sing kerep Marmaya Marmadi, sak liyane lakon Panji.
Dulu
saya sering dipanggil kanjeng bupati Raden Japan, main Topeng di Pendopo
kanjengan (kabupaten) sana. Kira-kira tahun 1960-an. Jika saya bertindak
sebagai dalang, ya begini ini pakaiannya. Cerita yang seringdibawakan adalah Marmaya-Marmadi,
selain cerita Panji (Wiji: catatan wawancara pada pendokumentasia Wayang Topeng
Kopral, tanggal 14 Juli 1985).Waktu itu yang menjadi Bupati di Malang adalah Mas
Japan Noto Boedojo (bupati ke X Periode: 1-7-1958 s/d 30-11-1964). Pementasan terakhir
di pendapa Kabupaten Malang sekitar tahun 1960.Setelah itu banyak anggotanya
yang memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke Sumatera.Namun ketika
mementaskan dalam rangka pendokumentasian tersebut, penarinya masih ada,
walaupun terlihat gerakan yang belum begitu sempurna dan belum “selesai”.Hal
ini disebabkan karena regenerasi pemain, walau pada waktu itu usianya sudah
tergolong lanjut (rata-rata 40 tahun ke atas). Dan diakui sendiri oleh Wiji
bahwa banyak tarian yng belum selesai dan ada beberapa tarian yang belum sempat
diajarkan, disebabkan usia yang sudah lanjut dan banyak lupa. Hal ini diakui
dan diterangkan oleh Wiji:
Joged
Klana durung mari,aku akeh sing lali. Joged Gunungsari ya durung sempat tak
latihna, sebab bocah-bocah padha repot, aku dhewe ya rada lali.Nek jogede
Bapang aku moh sinau, sebab Bapang kuwi sipate elek, aku moh.Sing tak senengi
jogede Marmaya Marmadi, mulane bocah-bocah pada bisa.
Tari Klana belum selesai, saya
banyak yang lupa. Tari Gunungsari ya belum sempat saya latihkan, sebab
anak-anak repot, saya sendiri juga agak lupa. Kalau tari Bapang saya memang
tidak mau belajar, sebab Bapang itu sifatnya jelek, saya tidak mau.Yang saya
suka tarian Marmaya Marmadi, maka anak-anak sudah bisa.(Wiji: dokumen wawancara
pada pendokumentasian Wayang Topeng Kopral, tanggal 14 Juli 1985)
Seorang
penari topeng dari dusun Mangu, bernama Munawi (akrab dipanggil mbah Munawi)
yang lahir tahun 1916 (sekarang berumur 92 th), cicitnya sudah 22 orang. Munawi
menceritakan pengalamannya mulai masuk ke dunia seni sejak berusia 14
tahun.Pertama belajar menari topeng dan ikut perkumpulan Wayang Topeng Kecil,
di dusun Mangu desa Tembalangan (sekarang masuk kelurahan Jatimulyo). Setelah
topeng bisa, ia belajar tari Surabayan (Rema pria) dan tari Beskalan (putri
tetapi berpakaian seperti laki-laki, maka disebut pakaian lanang). Oleh sebab itu, disamping ikut perkumpulan wayang
Topeng, juga ikut perkumpulan Ludruk di desanya yang khusus bertugas menari
Rema baik putra maupun putri.Ketika usia kira-kira 17 tahun, ia sudah ikut main
Wayang Topeng kemana-mana disamping juga ikut main Ludruk.
Aku
umur 14 iku wis ana kesenian, topeng ndik Mangu kene biyen tahun 30 aku wis
melok blajar. Topeng Mangu kene biyen jenenge Topeng kecil, sebab sing main
ancene akehe sik arek-arek. Terus tahun 32-33 an wis main nang ndi-ndi, ya
melok ludruk barang dadi tukang ngrema. Pengendang sing penak sing paling cocok
biyen iku jenenge Daslan. Apan jam 2 aku dikongkon nggenteni,”kene gentenono!:
aku gak isa! Wis talah mene-mene cek isa!”Terus Daslan mati, sing nggenteni
ngendang aku.Dadi aku ya nopeng, ya ngrema, ya ngendang, tapi gak tau ndalang,
sebab ancene gak tau blajar.(Munawi: wawancara tanggal 14 Juli 2007)
Saya umur 14 tahun sudah ikut di
dalam kesenian, tahun 1930, saya sudah ikut belajar topeng di desa Mangu
sini.Topeng desa Mangu sini dulu bernama Topeng Kecil, sebab pemainnya sebagian
besar masih anak-anak.Kemudian tahun 1932-1933-an saya sudah bermain di
mana-mana, juga ikut kesenian Ludruk sebagai penari Rema.Setelah Daslan
meninggal dunia saya yang mengganti sebagai pengendang.Jadi saya ya menari
topeng, ya menari Rema, ya menabuh kendang, tapi tidak pernah menjadi dalang,
sebab memang tidak pernah belajar.
Munawi
ini memiliki gaya gerak yang agak berbeda karakteristiknya dengan gaya tari di
beberapa daerah. Ciri utamanya adalah irama geraknya (speet) yang cukup
tinggi.Dengan penjelasan tersebut, membuktikan bahwa di Malang masih ada beberapa
perkumpulan Wayang Topeng yang belum sempat terdokumentasi.Sunggupun
perkumpulan ini sudah lama mati karena pemainnya sudah meninggal dunia, namun
masih menyisakan saksi hidup sebagai palaku budaya.
Pewaris
wayang topeng di wilayah timur, M. Soleh Adipramono yang sekarang memimpin
padepokan seni Mangundarma di desa Tulusbesar kecamatan Tumpang Kabupaten
Malang, ketururan dalang topeng bernama Kik Tirtowinotoputra dari Kek Rusman21,
mempunyai keyakinan kuat, bahwa tokoh yang bernamaReni dari Dusun Palawijen
tersebut sejaman dengan tokoh topeng dari Pucangsongo yang bernana Kek
Ruminten. M. Soleh Adipramono mendapat cerita dari Kek Tirtonoto sebagai
berikut.
Sewaktu terjadi banjir bandang
(besar) kali Amprong yang bermata air di pegunungan Tengger, kek Ruminten
penduduk desa Pucangsonggo Kecamatan Pancokusumo pergi melihat sawahnya yang
masih tergenang air.Ternyata air belum surut, bahkan sawah-sawah di desa itu
semuanya terendam.Sedangkan di beberapa bagian air masih mengalir cukup deras.Tiba-iba
kakinya tersentuh potongan batang pohon yang hanyut, penduduk setempat menyebut
dengan istilah: dongkelan. Kemudian kayu tersebut diambil dengan harapan dapat
digunakan untuk bediang (perapian) untuk penghangat badan dan ruangan.Setelah
kayu tersebut dikeringkan, kemudian dibakar.Ternyata kayu tersebut tidak
terbakar.Kemudian timbul niat untuk dijadikan topeng. Dari potongan kayu yang
kurang lebih 50 cm itu dibelah dan dipotong menjadi 4 bagian, masing-masing
dijadikan topengKlono, Gunungsari, Panji, dan Potrojoyo (Adipramono: wawancara:
9 Maret 2007, pkl. 10 s.d. 13.30)
Topeng-topeng
itulah yang dianggap pertama kali sebagai cikat bakal Keberadaan wayang topeng
di Dusun Pucangsanga sekitar awal abad XX.Besar kemungkinan keberadaan topeng
di Pucangsanga tersebut yang pernah dicatat oleh Th. Pigeaud. Karena dari
Keterangan lurah Pucangsanga bernama Saritrono, di Kek Ruminten adalah
kemenakan Reni, pengukir topeng dari Dusun Palawijen (Supriyanto &
Adipramono, 1997: 7 ; Onghokharn, 1972)
Hidayat
(2004: 52-54) melaporkan bahwa di dusun Slelir, Bakalan Krajan kecamatan Wagir kabupaten
Malang (sekarang menjadi kecamatan Sukun Kota Malang), pernah ada perkumpulan
wayang topeng yang dipimpin oleh Kusnan Ngaisah sampai tahun 1960.
Seorang penari dan
pemahat topeng yang bernama Kusnan Ngaisah lahir tahun 1928 di Dusun Slelir,
Desa Bakalan Krajan, Kota Malang.Sekarang Kusnan Ngaisah tidak lagi menekuni
wayang topeng karena membuat topeng tidak dapat memberikan penghasilan yang
cukup.Sehingga, Kusnan memilih menjadi tukang kayu dan pekerja bangunan.
Kusnan Ngaisah
berhenti menjadi penari topeng, pengukir topeng dan sekaligus pimpinan wayang
topeng di desanya sejak tahun 1960-an. Karena wayang topeng tersaingi oleh
kepopuleran pertunjukan Ludruk.Akibatnya tanggapan wayang topeng menjadi
berkurang.Waktu itu untuk membina pemain baru juga sudah sangat sukar. Karena
para pemuda di dusun Slelir lebih memilih sebagai pekerja kasar di kota.
Kusnan Ngaisah juga
memperhatikan perhatian masyarakat terhadap wayang topeng semakin berkurang,
salah satu sebab adalah tidak lagi ada orang yang memperkuat pembiayaan
organisasi.Kondisi seperti ini juga dialami oleh perkumpulan wayang topeng di
Dusun Jabung.Ketika Kangsen meninggal dunia, perkumpulan wayang topeng di Dusun
Jabung semakin melemah pendukungnya.
Informasi perihal
perkembangan wayang topeng di Dusun Slelir didapatkan dari Kusnan Ngaisan,
salah satu penari yang pernah belajar darikakek mertua, bernama Nata.penduduk
setempat menyebut Yai Nata. Iaadalah salah seorang pengukir kayu kepercayaan
Bupati Malang.
Menurut Kusnan, Yai
Nata merupakan orang Serba bisa, termasukkepandaiannya sebagai pengukir topeng.
Waktu itu Yai Nata juga mengenalpengukir topeng dan sekaligus penari topeng
yang terkenal bernama Reni dari Polowijen.Reni tinggal di daerah Malang bagian
utara, sedangkan Yai Nata tinggal di daerah Malang sebelah barat.Perkumpulan
wayang topeng yang ada di Malang bagian barat dan selatan memesan topeng pada
Yai Nata.Termasuk perkumpulan wayang topeng dari Desa Jatiguwi, Kecamatan
Sumberpucung.
Keberadaan wayang
topeng di Dusun Slelir berasal dari seorang pelatih dari Desa Panjer, Turen,
Kabupaten Malang.Waktu itu sekitar tahun 1930-an, pak Kusnan Ngaisan waktu itu
masih kecil, belum khitan.Tetapi dia sudah sering melihat orang berlatih dan
pentas wayang topeng.Semua perlengkapan pentas, termasuk topeng dibuat oleh Yai
Nata.
Laporan Hidayat
tersebut menambah penguatan keberadaan organisasi WayangTopeng di Malang.
AM. Munardi, guru
SMKI (dulu bernama Konservatori Tari) Surabaya, adalah salah seorang penggali
wayang Topeng di tahun 1972, memberitakan melalui sebuah buku berjudul Wayang
Topeng Malang yang ditulis bersama Sal Murgiyanto. Tulisan tersebut
menginformasikan sejumlah lokasi yang memiliki perkumpulan wayang topeng.Di
masa lalu pertunjukan wayang topeng Malang agaknya tersebar luas di berbagai
wilayah Kebupaten Malang; Dampit, Precet, Wajak, Ngajum, Jatiguwi, Senggreng,
Pucangsanga, Jabung, dan Kedungmongo. Akan tetapi pada akhir tahun 1970-an,
kecuali di Jabung dan Kedungmonggo, kehidupan wayang topeng di daerah-daerah
lain nampak telah sangat menurun karena beberapa sebab sehingga dewasa ini para
pemain dari desa-desa yang lain banyak yang kemudian bergabung dengan rombongan
wayang topeng dari dua desa yang disebutkan terakhir,yaitu Jabung, Kecamatan
Jabung bekas Kawedanan Tumpang dan Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan
Pakisaji, bekas Kawedanan Kepanjen (Murgiyanto & Munardi,1978/79 7-8).
Sepanjang tahun
1980-an hingga tahun 1990-an, partisipasi masyarakat dan juga sejumlah instansi
swasta dan pemerintah sangat besar. Hal ini dibuktikan adanya usaha-usaha
pemasyarakatan kembali pertunjukan wayang topeng yang ada di berbagai daerah.
Pada waktu itu perkumpulan yang masih dapat tampil yaitu perkumpulan Wayang
Topeng Karya Bakti dari Desa Jabung yang diketuai olehParjo; perkumpulan Wayang
Topeng Srimarga Utama dari Desa Glagahdowo yang dipimpin oleh Rasimoen;
perkumpulan Wayang Topeng Asmarabangun dari Desa Kedungmonggo, dan perkumpulan
Wayang Topeng Candrakirana dari Desa Jambuwer pimpinan Barjo Djiono.
Pada akhir tahun
2000 perkumpulan wayang topeng yang masih aktif pentas berasal dari dua desa
yaitu (1) PerkumpulanWayang Topeng Asmarabangun dari Dusun Kedungmonggo,
Kecamatan Pakisaji, (2) PerkumpulanWayang Topeng Sri Margautama dari Dusun
Glagahdowo, Kecamata Tumpang. Namun pada tahun 2007 perkumpulan Wayang Topeng
ini (Sri Margautama dari Dusun Glagahdowo )kehilangan tokoh pimpinan sekaligus
maestro, yaitu Rasimoen meninggal dunia dalam usia 83 tahu. Semenjak itu sampai
sekarang perkumpulan ini vakum.Selain dua perkumpulan tersebut, juga ada dua
perkumpulan yang termasuk perkumpulan topeng cukup tua di Malang.Tetapi, karena
mengalami kendala regenerasi,perkumpulan tersebut tidak dapat mengadakan pentas
secara intensif. Perkumpulan wayang topeng yang mulai surut tersebut yaitu (l)
Perkumpulan Wayang Topeng Galuh Candrakirana dari Desa Jambuwer, Kecamatan
Kromengan pimpinan Bardjo Djiono, dan (2) Perkumpulan Wayang Topeng Wira Bakti
Dari Desa Jabung, Kecamata Jabung pimpinan Pardjo. Pada pertengahan tahun 2007,
perkumpulanWayang Topeng Galuh Candrakirana dari Desa Jambuwer, Kecamatan
Kromenganmendapat kepercayaan untuk mementaskan repertoarnya di Taman Mini
Indonesia Indah di Anjungan Jawa Timur.Kemudian pada tanggal 2 Desember 2007, mementaskan
Wayang Topeng penuh satu cerita dengan judul Rabine Panji dengan dalang M.
Soleh.Pada kedua pertunjukan tersebut ternyata sudah ada empat orang pemuda,
dengan demikian dapat dipastikan peremajaan masih berjalan.
Selain keempat
perkumpulan topeng yang disebutkan di atas, tiga tahun terakhir ini di daerah
Wijiombo, Gunung Kawi mementaskan kembali repertoar tari topeng untuk upacara
bersih desa.Tahun 2004 diselenggarakan pada tanggal 18 Januari 2004.
Ini Tulisan Siapa?
BalasHapusIni Tulisan Siapa?
BalasHapus